Dulu sekali. Sepotong kain segi empat tergantung di dinding kamar. Tak pernah terbesit dan terlintas di benakku akan mengenakannya saat ini. Mungkin setelah menikah nanti, mungkin setelah bekerja nanti, atau “kemungkinan-kemungkinan” yang lain yang entah kapan akan tiba waktunya.
Dalam hati kecilku
sebenarnya ada keinginan mengenakannya saat itu, namun keinginan itu tertutupi
dengan alasan-alasan yang aku buat-buat sendiri.
Aku merasa akan
dijauhi teman-temanku jika mengenakannya, aku merasa jika memakai jilbab maka
wajahku akan kelihatan aneh dan tidak cocok, yang terakhir aku takut akan
dikatakan sok alim oleh orang-orang yang kenal denganku. Sungguh begitu
ke”kanak-kanak”kannya diriku dulu.
Namun ternyata hari
itu tiba. Aku mengenakannya untuk saat itu, hingga saat ini, dan semoga tetap
istiqamah selamanya.
Tidak ada istilah
menunggu hidayah. Diibaratkan jika kita menginginkan agar cahaya matahari masuk
ke dalam rumah kita, namun kenyataannya yang kita lakukan hanyalah menunggu di
dalam rumah dengan jendela dan pintu yang tertutup. Ditunggu sampai kapan pun
cahaya matahari tak akan pernah masuk ke dalam rumah kita. Begitu juga yang
berlaku pada hidayah. Ia tak akan masuk ke dalam hati kita jika yang kita lakukan
hanyalah menunggu.
Memang di dalam ayat
Al-Quran dijelaskan bahwa sebuah hidayah adalah hak prerogatif milik Allah
untuk memberi ataupun tidak, namun tak ingatkah kita pada salah satu firman-Nya
yang berbunyi, “Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sebelum kaum itu
sendiri yang mengubahnya.”
Kata kuncinya adalah
usaha. Hidayah itu akan hadir ketika kita tidak hanya menunggu namun juga
diiringi dengan usaha disertai doa kita pada-Nya.
Karena menurutku,
Menunggu datangnya hidayah itu bukan sebuah alasan penundaan untuk mengenakan
jilbab namun lebih tepatnya ialah sebuah alasan penolakan untuk mengenakan
jilbab. Karena dia hanya menerka-nerka mengenai datangnya hidayah.
Hidayah yang bisa
berupa ketenteraman, kedamaian, dan kenyamanan saat memakai jilbab ataupun bisa
juga berupa keinginan untuk terus mengenakan jilbab (permanen) tidak hanya
timbul di awal mengenakannya, namun bisa timbul ketika proses mengenakannya.
Sederhananya,
Berjilbab itu bukan karena hidayah, namun berjilbab itu untuk mendapatkan
hidayah. Dengan kata lain, berjilbablah terlebih dahulu, maka hidayah akan
datang menyapamu.
Ketika shalat masih
suka telat…
Ketika kata-kata masih tak terjaga…
Ketika mata belum tunduk dalam pandangan…
Ketika tingkah laku masih jauh dari yang Nabi Saw suruh…
Jilbab inilah yang menyadarkanku, betapa banyak yang belum dibenahi di diri ini.
Ketika teman mengajak maksiat…
Ketika pergaulan belum ada batasan…
Ketika berghibah adalah hiburan…
Ketika melihat aurat adalah hal yang lumrah…
Jilbab inilah yang menyadarkanku, betapa banyak yang belum dibenahi di diri ini.
Ketika kata-kata masih tak terjaga…
Ketika mata belum tunduk dalam pandangan…
Ketika tingkah laku masih jauh dari yang Nabi Saw suruh…
Jilbab inilah yang menyadarkanku, betapa banyak yang belum dibenahi di diri ini.
Ketika teman mengajak maksiat…
Ketika pergaulan belum ada batasan…
Ketika berghibah adalah hiburan…
Ketika melihat aurat adalah hal yang lumrah…
Jilbab inilah yang menyadarkanku, betapa banyak yang belum dibenahi di diri ini.
Dan setelah
mengenakannya, yang ada hanyalah hidayah, hidayah, dan terus hidayah. Lewat
penjagaan-Nya yang bernama JILBAB.
Sadarilah saudariku,
dapatkanlah hidayahmu yang mungkin sedang menunggu usaha darimu, menunggu
jilbab itu kau pakai terlebih dahulu.
Setelah itu kau boleh merasakan, sesungguhnya
Jilbab itulah yang akan menyadarkanmu, betapa banyak yang belum dibenahi dalam
dirimu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar